Apakah itu Sumbu Filosofi Yogyakarta yang Diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO ?
@antara_tv Sumbu Filosofi Yogyakarta ditetapkan jadi warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 18 September 2023. Menlu Retno Marsudi @retno_marsudi menyerahkan sertifikat itu kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Gedhong Pracimasana, kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis (28/12). Retno mengatakan ini mengukuhkan Yogyakarta sebagai Kota Peradaban. #yogyakarta #jogja #kotawisata #unesco #warisan #warisanbudaya #budaya #retnomarsudi #menlu #gubernurdiy #srisultanhamengkubuwono #prestasi #penghargaan #cagarbudaya #beritaterkini
♬ suara asli - Antara TV Indonesia - Antara TV Indonesia
Sumbu Filosofi Yogyakarta, yang kini dikenal dengan nama "The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks," telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. Pengakuan ini menjadikan sumbu filosofi tersebut bukan hanya milik Yogyakarta atau Indonesia, tetapi juga milik dunia. Pengakuan ini menunjukkan pentingnya Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai simbol budaya dan warisan sejarah yang mendalam.
Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan konsep tata ruang kota Yogyakarta yang dirancang oleh Sultan Hamengkubuwono I pada abad ke-18. Sumbu ini membentang dari Gunung Merapi di utara hingga Laut Selatan di selatan, melewati Keraton Yogyakarta. Dalam filosofi Jawa, sumbu ini menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Konsep Tata Ruang Sumbu Filosofi Yogyakarta
Dilansir laman resmi Provinsi DIY, Sumbu Filosofi Yogyakarta yang dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO bertajuk lengkap "The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks," diakui sebagai warisan dunia karena dinilai memiliki arti penting secara universal. Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah konsep tata ruang yang dicetuskan pertama kali oleh Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada abad ke-18.
Konsep tata ruang ini dibuat berdasarkan konsepsi Jawa dan berbentuk struktur jalan lurus yang membentang antara Panggung Krapyak di sebelah selatan, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara.
Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta
Secara simbolis filosofis, poros Sumbu Filosofi Yogyakarta ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (ether).
Demikian juga tiga unsur yang menjadikan kehidupan (fisik, tenaga, dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis Sumbu Filosofi Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwana yang menyandang gelar Sayidin Panatagama Kalifatullah mengubah konsep filosofi sumbu imajiner yang Hinduistis ini menjadi konsep filosofi Islam Jawa "Hamêmayu Hayuning Bawana" dan "Manunggaling Kawula lan Gusti."
Pembentukan Sumbu Filosofi Yogyakarta
Pembangunan Yogyakarta dirancang oleh Sultan Hamengku Buwana I dengan landasan filosofi yang sangat tinggi. Sultan Hamengku Buwana I menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya. Sultan juga mendirikan Tugu Golong-Gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya. Dari ketiga titik tersebut, apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Rute Sumbu Filosofis Yogyakarta
Tugu Golong-Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu Golong-Gilig pada bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) serta berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih. Tugu Golong Gilig melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).
Oleh karena itu, Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang utama (point of view) sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara. Hubungan filosofi antara Tugu, Keraton dan Panggung Krapyak dan sebaliknya yang bersifat Hinduistis ini oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I diubah menjadi konsep filosofi Islam Jawa "Sangkan Paraning Dumadi."
Panggung Krapyak merupakan awal dari tiga titik susunan sumbu filosofis (Panggung Krapyak-Keraton-Tugu) Sangkan Paraning Dumadi. Pertemuan antara wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak (yoni) dengan Tugu Pal Putih (lingga), melambangkan proses kelahiran manusia (sangkaning dumadi) yang tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, berumah tangga, mengandung, dan melahirkan anak. Sebaliknya, dari Tugu Golong-Gilig/Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan hidup manusia kembali menuju Sang Penciptanya (paraning dumadi).
Golong gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa, dan karsa yang dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang negatif).
Elemen-Elemen Utama Sumbu Filosofi
1. Gunung Merapi: Simbol kekuatan dan kemuliaan. Gunung Merapi dianggap sebagai tempat yang sakral dan memiliki energi spiritual yang kuat.
2. Tugu Yogyakarta: Monumen yang menandai pusat dari sumbu filosofi dan merupakan simbol semangat perjuangan dan identitas Yogyakarta.
3. Keraton Yogyakarta: Istana Sultan yang menjadi pusat budaya, politik, dan spiritual di Yogyakarta.
4. Panggung Krapyak: Bangunan yang berfungsi sebagai tempat berburu dan merupakan simbol keseimbangan antara manusia dengan alam.
5. Laut Selatan: Melambangkan kekuatan alam dan dipercaya sebagai tempat kediaman Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan.
Pengakuan UNESCO
Pengakuan UNESCO terhadap Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Tak Benda memiliki beberapa signifikansi penting:
1. Pengakuan Internasional: Memberikan pengakuan global terhadap nilai budaya dan sejarah Yogyakarta, sehingga menarik perhatian dunia internasional.
2. Perlindungan dan Pelestarian: Membuka peluang lebih besar untuk upaya perlindungan dan pelestarian Sumbu Filosofi dan elemen-elemennya, melalui dukungan dari berbagai pihak.
3. Pariwisata Budaya: Meningkatkan daya tarik pariwisata Yogyakarta sebagai destinasi budaya, yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat setempat.
4. Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Tradisi dan Praktik Budaya
Bukti peradaban budaya melekat pada Sumbu Filosofi Yogyakarta ditunjukkan banyaknya tradisi dan praktik budaya Jawa yang dilakukan di sekitar kawasan bangunan. Misalnya acara pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, dan ritual-ritual. Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya memperkaya budaya lokal tetapi juga memperlihatkan bagaimana warisan ini tetap hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Kesimpulan
Pengakuan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO adalah pencapaian besar bagi Indonesia. Ini bukan hanya tentang melestarikan sebuah warisan budaya, tetapi juga tentang mengakui dan merayakan kekayaan sejarah dan nilai-nilai filosofis yang mendalam dari Yogyakarta. Dengan pengakuan ini, Sumbu Filosofi Yogyakarta tidak lagi hanya milik Yogyakarta atau Indonesia, tetapi menjadi bagian dari warisan dunia yang harus dijaga dan dihargai bersama.
Referensi:
https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting/21-sumbu-filosofi-yogyakarta-pengejawantahan-asal-dan-tujuan-hidup/
Comments
Post a Comment